Jakarta, NU Online Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Maria Ulfah Anshor menyoroti fenomena perkawinan anak di Indonesia. Ia menilai terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab perkawinan anak. Maria mengungkapkan bahwa pemahaman agama dan budaya memiliki dampak besar terhadap praktik perkawinan anak di Indonesia. Sementara perkawinan anak bisa memicu kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
“Salah satu faktor perkawinan anak adalah pemahaman agama dan budaya,” kata Maria saat menjadi narasumber pada Diskusi Publik Pojok Kramat yang diselenggarakan Lakpesdam PBNU bekerja sama dengan Inklusi di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Rabu (6/12/2023).
Dalam forum bertajuk Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pencegahan Perkawinan Anak dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan itu, Maria menilai, terdapat pemahaman yang keliru terkait dengan anjuran agama dan budaya terkait perkawinan. Salah satunya, interpretasi Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 dan sabda Rasulullah mengenai pemuda yang disarankan untuk menikah jika sudah mampu. Hadits itu sering kali hanya diartikan dalam konteks kemampuan fisik, terutama yang terkait dengan kematangan seksual.
“Mampu dalam konteks ini adalah sudah baligh, sudah mimpi basah, bisa melakukan interaksi seksual itu dianggap sudah mampu. Padahal, menikah tidak hanya tentang kemampuan fisik, tapi juga melibatkan kemampuan psikis, ekonomi, dan aspek lainnya,” ujar Maria. Baca Juga Komnas Perempuan: Usia Minimal Perempuan Menikah 19 tahun Selain faktor agama, ia melihat ada faktor budaya yang turut menjadi pemicu terhadap perkawinan anak. Maria mengungkapkan bahwa di beberapa daerah seperti Indramayu, Cirebon, dan Madura terdapat tradisi masyarakat yang mewajibkan menerima lamaran tanpa mempertimbangkan faktor usia.
Faktor pendidikan juga disebut sebagai pemicu perkawinan anak. Maria menyebutkan bahwa ketidaksetaraan akses pendidikan, terutama bagi perempuan, menjadi salah satu penyebab utama. Di samping itu, faktor ekonomi dan kemiskinan turut memberikan tekanan yang signifikan. Dampak perkawinan anak ad Baca Juga Data Komnas Perempuan: Teman dan Tetangga Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Tertinggi Maria juga membahas dampak negatif dari perkawinan anak yang dapat memicu adanya KDRT.
Mengutip data Komnas Perempuan, ia menjelaskan bahwa angka KDRT lebih tinggi dibandingkan dengan kasus lainnya. Dari 79 persen kasus yang tercatat, 30 persennya terkait dengan kekerasan seksual. “Komnas Perempuan, dalam catatan tahunannya, menemukan angka KDRT tertinggi dibanding dengan kasus-kasus yang lainnya. Kami membagi kekerasan di ranah personal, KDRT, kekerasan dalam pacaran, kekerasan di ranah publik dan negara,” papar dia. “Kekerasan di ranah personal itu paling tinggi angkanya di kekerasan dalam rumah tangga, angkanya 79 persen atau 6480 kasus. Dari 79 persen kasus KDRT, 30 persennya adalah kekerasan seksual, 31 persennya kekerasan fisik, tertinggi kedua adalah kekerasan seksual, dan kekerasan psikis,” imbuh dia.
Maka itu, ia menilai pentingnya peran orang tua dalam pengasuhan anak dalam pencegahan perkawinan anak. Maria menyebutkan konsep pengasuhan Imam Al-Ghazali dan teori Konvergensi dari William Stern yang menekankan pendidikan anak secara holistik. “Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali mengatakan bahwa pengasuhan anak itu holistik mencakup aspek spiritual, moral, sosial, kognitif, dan psikis. Di masa itu, beliau sudah memikirkan, mengonsep pengasuhan itu secara komprehensif,” paparnya. Dalam konteks pengasuhan, Maria menggarisbawahi bahwa penting untuk mengenalkan nilai-nilai karakter anak, seperti kejujuran, ketaatan terhadap peraturan, dan menghindari konflik. “Pada konteks pengasuhan di dalamnya ada prinsip pendidikan. Pendidikan untuk menciptakan manusia yang memiliki ilmu bermanfaat yang diterapkan sehari hari dan mencari keridhaan Allah,” pungkasnya