Refleksi 16 HAKTP, Pojok Kramat Kupas Masalah Optimalisasi Peran Masyarakat untuk PPA

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Lakpesdam PBNU) menyelenggarakan diskusi publik Pojok Kramat dengan tema “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Optimalisasi Peran Masyarakat Dalam Pencegahan Perkawinan Anak” yang dilaksanakan di Gedung PBNU Jakarta, Rabu, (6/12/23). Agenda ini adalah Pojok Kramat seri 2 setelah bulan sebelumnya digelar agenda yang sama.

Dalam acara itu, Founder dari Fiqih Perempuan, Nyai Dhomirotul Firdaus mengungkapkan banyak sekali perempuan yang bungkam saat mengalami KDRT karena anggapan menjadi wanita sholihah dengan menutupi aib suaminya.

Beliau menjelaskan pada zaman Rosulullah banyak perempuan yang datang mengadu kepada nabi dengan keluhan KDRT, lalu dengan tegas Nabi mendeklarasikan bahwa mereka yang melakukan tindak KDRT bukan merupakan orang baik.

“Rosulullah tidak menyuruh perempuan-perempuan korban KDRT itu untuk diam. Rosul tidak menganggap perempuan yg lapor itu artinya membuka aib suami. Rosul juga tidak menasehati para perempuan tersebut untuk diam sebagai tanda wanita sholehah,” jelasnya.

Pada diskusi tersebut beliau menyampaikan salah satu faktor KDRT yang terjadi merupakan kegagalan paham terhadap perspektif agama, khususnya pada Q.S An Nisa ayat 34. Ayat sering kali dijadikan dalil dalam melegalkan KDRT.

Ia meluruskan kesalah pahaman tersebut dengan mengutip Tafsir Ibnu Katsir dan Mar’ah Labid karya Syekh Nawawi, untuk menegur istri ada tahapan yang perlu dilakukan. Pertama, mengingatkan dengan baik. Kedua, pisah ranjang sementara. Ketiga, pukulah dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak mengenai wajah.

”Jika hal tersebut dilanggar, hukumnya menjadi haram. Bahkan ulama berpendapat wadribunna pada Q.S An Nisa ayat 34 itu artinya mendiamkan,” ungkapnya.

Ulama pun memberi syarat-syarat ketika ingin memukul, yaitu pertama, niat mendidik bukan menyakiti. Kedua, tidak menyakitkan, bukan merupakan area wajah, tidak dilakukan di luar rumah. Ketiga, tidak didahului dengan pertikaian. Dan keempat, istri tidak boleh merasa sakit hati.

Syarat-syarat tersebut menjadi tanda bahwa ulama sangat berhati-hati dan mengisyaratkan untuk menghindari pemukulan.

“Ulama sampai memberikan syarat-syarat ini, artinya apa? kalau bisa hindari memukul,” ujarnya.

Pembicara lain yang hadir diantaranya, Dr. Maria Ulfah Anshor, M. Si (Pengurus LKKNU-Komisioner Komnas Perempuan) Thowilan (Kepala KUA Kec. Menteng, Jakarta Pusat).

Bagikan