Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional tahun 2023, Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Cirebon menggelar serial Kongko Nahdliyyah. Dalam edisi perdana tajuk yang dibincang adalah “Pendekatan Ma’na cum Magza dalam Penafsiran Al-Qur’an di Era Transformasi Teknologi”.
Bertindak sebagai narasumber Prof. Dr.phil. K. Sahiron, M.A. penggagas teori tersebut. Kegiatan ini digelar di Pondok Pesantren Al-Fatih, Kayuwalang, Kota Cirebon.
Dalam kongko edisi ini Sahiron menyampaikan bahwa jika ada ustaz dalam platform digital menyampaikan agama dan mengutip Al-Qur’an dengan penuh hujatan dan kemarahan dapat dipastikan bukan dari Al-Qur’an. Menurutnya salah satu paradigma universal dari Al-Qur’an adalah cinta dan kasih sayang.
Pendekatan ma’na cum magza bagi Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Yogyakarta ini meniscayakan pemanfaatan keilmuan pesantren dalam implementasinya. Sebab ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan bagi seseorang yang memahami Al-Qur’an. Pertama, elemen al-ma’na at-tarikhi.
“Dalam konteks ini seorang penafsir harus menyelami dunia pemaknaan di masa generasi awal Islam. Proses penggalian ini melibatkan pendekatan sejarah, linguistik, dan keilmuan lain yang umum dikaji di dunia pesantren,” papar narasumber.
Kedua, menurutnya, elemen al-maghza at-tarikhi. Menurut Presiden Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia ini, dalam menafsirkan Alquran harus memahami signifikansi diturunkannya suatu ayat pada generasi awal Islam. Elaborasi ini bukan hanya dilakukan melalui sabab nuzul, karena menurutnya itu terlalu sempit. Diperlukan data-data historis lain yang menyokong akurasi konteks signifikansinya.
Ketiga, menurut Sahiron, elemen al-magza al-mutaharrik. Penelusuran sigifikansi dalam linimasa historis yang bersifat dinamis sangat penting untuk dilakukan. “Bagaimana para penafsir memiliki konteks sosial-historis dalam menafsirkannya, dan bagaimana suatu ayat dikontekstualisasikan di era sekarang merupakan pertanyan-pertanyaan yang harus dijawab dalam proses memahami Al-Qur’an. Demikian pula konteks kehidupan di era transformasi teknologi saat ini,” imbuhnya.
Menurutnya, untuk memahami Alquran tidak bisa serta merta menyamakan konteks antara 14 abad yang lalu dengan kondisi saat ini. “Penggalian elemen ini adalah tugas kita semua,” pungkas Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini.
Sementara itu, Mohamad Yahya, Ketua Lakpesdam NU Kota Cirebon menyampaikan bahwa kegiatan Kongko Nahdliyyah ini akan digelar secara berseri dengan topik dan pemateri yang berbeda-beda. Tujuan digagasnya kegiatan ini, lanjut Yahya, sebagai upaya mengembalikan status Kota Cirebon sebagai pusat peradaban.
“Cirebon tidak dapat disebut kota wali jika bincang-bincang keilmuan tidak sering digelar. Di samping itu, kader Nahdliyyin tidak paripurna jika tidak mapan dalam penguasaan wacana keilmuan,” tutup Yahya.