Pengorganisasian Desa Inklusif di Desa Jatisobo, Lakpesdam Sukoharjo Gelar Sekolah Lapan

Masyarakat rentan dan marjinal adalah kelompok atau anggota masyarakat yang karena perbedaan status sosial, ekonomi, politik, gender, perbedaan fisik mengalami hambatan dalam mengakses dan menikmati pembangunan secara setara.

Misalnya kelompok miskin,kelompok perempuan, orang dengan disabilitas/berkebutuhan khusus, anak-anak, lansia, masyarakat adat, kelompok minoritas keagamaan dan kepercayaan, orang yang hidup dengan HIV/AIDS dan kelompok lain yang tak terlihat.

Desa Inklusif sebuah istilah yang mulai dikenal, namun belum banyak yang mengetahuinya. Desa Inklusif adalah tatanan masyarakat desa yang mengakui, menghormati, memenuhi, melindungi serta melayani hak-hak seluruh warga desa termasuk masyarakat rentan dan marjinal.

Setiap warga desa idealnya bersedia secara sukarela membuka ruang bagi semua pihak dan meniadakan hambatan untuk berpartisipasi secara setara, saling menghargai serta merangkul setiap perbedaan.

Desa Inklusif adalah salah satu program Lakpesdam PBNU yang dijalankan sebagai mandat sinergi dua lembaga yaitu Kemendesa PDTT dan Lakpesdam PBNU. Pilot Desa Inklusif ini mengacu pada panduan fasilitasi Desa Inklusif yang dikembangkan oleh Kemendesa PDTT namun dilaksanakan secara khusus di lokasi yang dipilih oleh Lakpesdam PBNU dan dijalankan oleh kader-kader Lakpesdam di tingkatan Kabupaten/Kota.

Desa-desa yang dipilih akan difasilitasi secara khusus dan bertahap mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi hingga berhasil menjadi desa yang inklusif. Sebagai lokasi pilot, desa yang diusulkan harus punya potensi “berhasil”.

Oleh karena itu sebagai lokasi percontohan, setidaknya memenuhi kriteria seperti aksesibel atau mudah terjangkau, dan ada sumber daya yang tersedia (Pengurus Sekolah Lapang). Serta sebagai modalitas awal, sebaiknya bukan lokasi yang sama sekali baru, yakni desa yang pernah ada treatment sebelumnya atau pernah menjadi lokasi kegiatan Tim lokal Lakpesdam NU tingkat Kabupaten/Kota. Yang terakhir, potensi penerimaan dari desa dan kabupaten baik sehingga memudahkan koordinasi.

Dari 8 desa di Kabupaten Sukoharjo yang diusulkan, akhirnya terpilih 4 desa mencakup 3 Kecamatan. Di Sukoharjo ada 4 desa yaitu Jatisobo (Polokarto), Kenokorejo (Polokarto), Mertan (Bendosari), dan Ngreco (Weru).

Sebagai langkah awal menuju Desa Inklusif, Kementerian Desa PDTT yang difasilitasi Lakpesdam PBNU menyelenggarakan Workshop Sekolah Lapang di semua desa. Workshop sudah berhasil dilaksanakan di 1 desa yakni di Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto pada 22 Juli 2023.

Darmanto, selaku Kepala Desa Jatisobo yang hadir pada momen Workshop Sekolah Lapang Desa Jatisobo, Kab. Sukoharjo sebagai langkah awal pengorganisasian Desa Inklusif, menyatakan rasa senangnya sekaligus bangga. Ia berharap Jatisobo akan bisa menjadi pilot project untuk program desa inklusif lainnya. Desa-desa lain kelak diharapkan akan mereplikasi desa inklusif yang sudah berjalan, sesuai dengan kearifan lokal masing-masing, serta dengan merancang pembangunan desa merujuk akar budaya setempat.

Raha Bistara selaku Koordinator Tim Teknis P3PS Lakpesdam NU Sukoharjo menambahkan, desa inklusif merupakan representasi dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Dengan terbentuknya desa inklusif, maka semua masyarakat di dalamnya benar-benar bisa menghargai perbedaan yang ada.

Perbedaan jangan sampai menghalangi masyarakatnya untuk membangun bersama. Apabila semua desa di Indonesia saling menghormati, menghargai, mengakomodasi, saling memiliki, dan semuanya terlibat, maka akan sangat indah. Siapapun dia, tanpa memandang apa warna kulitnya, sukunya, apakah difabel atau tidak, semuanya dapat berkontribusi membangun desanya masing-masing.
Dari kegiatan tersebut, hampir seluruh peserta yang berjumlah 25 orang mengakui Workshop amat sangat bermanfaat bagi mereka.

Suyanti, yang juga sebagai Pengurus Sekolah Lapang desa Jatisobo sekaligus sebagai perwakilan dari kelompok disabilitas mengaku merasa sangat bersyukur.

“Saya tidak menyangka diajak ikut pelatihan ini. Saya orang kecil tidak tahu apa-apa, tapi di pelatihan ini suara saya didengarkan. Semoga program ini tidak berhenti di sini,” ujarnya.

Suara hampir senada dikatakan oleh para peserta yang umumnya mempunyai keluarga atau saudara difabel. Mereka sangat berterima kasih atas pelatihan yang telah diberikan. Mereka mengakui mendapatkan sebuah pembelajaran yang selama ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun yang paling membuat mereka bangga sekaligus haru adalah karena merasa telah dimanusiakan.

Bagikan