Pada kegiatan pembukaan Halaqah Ulama Nasional yang digelar Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah PBNU di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Rabu (12/7/2023), Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) Ulil Abshar Abdalla memberi wacana tentang rekontekstualisasi Kitab Kuning.
Pria yang akrab disapa Gus Ulil itu meminta ulama dan pesantren melakukannya.
“Kita memerlukan rekontekstualisasi Kitab Kuning sehingga dengan referensi yang sama dapat memecahkan persoalan zaman ini,” kata Gus Ulil.
Oleh karena itu, menurutnya mengatakan pesantren harus mengembangkan cara pandang baru dalam berpegang pada literasi yang selama ini digunakan, yaitu Kitab Kuning. Bila tidak, segala problematika zaman saat ini tidak dapat dipecahkan oleh umat Islam.
Menurutnya, seringkali pemahaman umat Islam di Indonesia masih tekstual. Padahal, dalam sejarahnya pada Munas 1992 telah mencetuskan rumusan baru dalam metode istimbath hukum, yaitu istimbath manhaji (metodis) bukan qauli atau letterlijk.
“Artinya, pemahaman terhadap literasi klasik harus mengadopsi prinsip, cara pandang dan membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan sosial serta perkembangan zaman saat ini,” ucap menantu dari pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) itu.
Ditambahkan, rekontekstualisasi Kitab Kuning itu mendesak dilakukan karena selama ini bahtsul masail ulama NU sering mengambil kesimpulan mauquf atau tanpa keputusan. Padahal, sambungnya, umat membutuhkan keputusan yang tegas dan operasional.
Oleh karena itulah, ia mengatakan halaqah ulama menjadi agenda penting untuk menentukan peta jalan menyambut peradaban baru yang adil, harmonis dan penghargaan atas kesetaraan dan martabat manusia berdasarkan khazanah pondok pesantren.
“Peta jalan zaman baru ini haruslah tetap bertumpu pada tradisi masyarakat Indonesia yang khas,” katanya.
Kitab Kuning, yang kata dia kebanyakan ditulis pada abad pertengahan atau abad ke 5-15 Masehi harus dilakukan rekontekstualisasi atau revitalisasi yang berpijak pada prinsip mengambil hal baru yang lebih baik.
“Jadi tantangannya bagaimana ulama membaca kitab tradisional dalam konteks peradaban baru,” ucapnya.
Rekontekstualisasi Kitab Kuning, kata dia, sebetulnya bukan barang baru dan sempat dilakukan beberapa kali. Misalnya keputusan PBNU menerima NKRI dan ideologi Pancasila sebagai bentuk final negara ini. Putusan ini diambil pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984.
“Salah satu isi keputusannya yakni para Kiai menyatakan bahwa bentuk negara khilafah tidak sesuai dengan keadaan sekarang,” ujar dia.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, dengan peran partisipatif para ulama, kini Indonesia telah mengalami peningkatan moralitas yang signifikan.
Tapi dengan kontekstualisasi pemahaman kitab, literasi klasik tidak dapat lagi dipahami sempit tetapi harus pada manhajnya atau kaidah-kaidahnya yang prinsipil.
“Kitab kuning adalah literasi klasik segala zaman. Jangan hal itu dipahami sebagai radikalisme, konfrontatif pada negara, dan menganggap negara ini bukan Islam,” kata pria yang pernah menjadi Menteri Pertahanan di era Kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.
Disarikan dari berita: www.cnnindonesia.com